GOYANG PANTA BOLA “PATOLA” TREND MASA KINI YANG MENGALAHKAN BUDAYA TARIAN DAN YOSPAN
“Sebuah Trend Anak Muda Masa Kini Dengan Meninggalkan Budaya Asli, Apakah Ini Pelangaran UU Pornografi dan Pornoaksi?”
Oleh: Agus Wianimo, S.Hut
Belakangan
ini, banyak orang sudah mulai tertarik dengan salah satu trend baru yang di
populerkan oleh anak-anak muda, dan kebanyakan dari mereka adalah para
gadis-gadis belia yang bahkan masi di bawah umur. Trend tersebut adalah goyang
patola (Panta Bola).
Ilustrasi: Goyang Panta Bola (Patola), Contribut by Youtube. |
Sebenarnya
tarian ini adalah tarian yang di adopsi dari nergara eropa, amerika dan afrika
yang kemudian di bawakan dalam sebuah tarian-tarian atau dance konteporer yang
sudah di mordenisasikan. Sehingga terkesan erotis dan lebih memarekan salah
satu bagian tubuh yakni Pan**t. Goyang panta bola atau lebih dikenal sebagai
goyang patola ini, tidak memiliki sejarah yang jelas. Trend ini muncul ketika
banyak orang di amerika dan dunia barat lainnya melakukan gerakan ini sebagai
bagian dari penari latar pada sebuah vidio musik yang banyka menapilkan bagian
tubuh tertentu. Yang kemudian di adopsi oleh sebagian anak muda terutama di
tanah papua.
Fenomena
goyang patola ini belakang di perbincangkan setelah terjadi sebuah kasus yang
di luar agenda acara pada hajatan Festival Danau Sentani XII tahun 2018, yang
dilakukan di Kabupaten Jayapura. Pada moment tersebut diijinkan oleh pemabawa
acara untuk mengisi kekosongan waktu dalam jeda acara. Dan lagu tersebut di
putarkan dengan judul “Patola-Panta Bola” yang di populerkan dalam lagu-lagu
berjender Rap oleh sekelompok anak muda yang berasal dari Merauke. Setelah
peristiwa tersebut mulai banyak orang membicarakan situasi ini. Dan dapat dijumpai di media Sosial seperti Twiter, Facebook, Youtube dan media lainnya.
Dosen
Seni Tari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua, Muhammad Ilham M.
Murda menyoroti fenomena goyang patola yang ditampilkan dalam gelaran Festival
Danau Sentani yang digelar di Khalkote, tepian Danau Sentani, Kabupaten
Jayapura sejak 19 Juni 2018. Dalam keterangannya, Kandidat Doktor Antropologi
Seni Universitas Cenderawasih ini mengatakan, sudah mulai ada pergeseran budaya
asli papua yang terpengaruh dengan budaya barat. Salah satunya terlihat dari
gerakan yang disajikan dalam goyang patola. Menurutnya, gerakan goyang patola
adalah bentuk kesenian populer yang ada di negara lain dan sudah mulai digemari
oleh masyarakat di Papua dari berbagai golongan. “Kalau melihat secara estetika
gerak tarian Patola tersebut, banyak mengandung gerak sensual, erotis atau
porno aksi yang bisa merusak moral generasi di Papua dan terkesan tidak mendidik,”
ucap Muhamad Ilham M. Murda kepada Jubi, Rabu (20/6/2016).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa:
"Maaf tong bagikan
ajah, sekedar info untuk kaum muda."
"Za tra setuju, stopp, stop, stopp..."
"Za tra setuju, stopp, stop, stopp..."
"Goyang
patola dan ancamanya bagi kaum muda papua"
Goyang Patola adalah pornoaksi,
yakni sebuah gerakan erotis dan sensual yang dilakukan secara tunggal atau
bersama-sama, yang menimbulkan fantasi seksual terhadap penonton. Dampak budaya
liberalis ini mengikis budaya bangsa Papua, dan dakendensi moral. Kolonialisme
Indonesia mengemas ini sebagai taktik kehancuran. Budaya kita distrigma
menganut sex bebas. Padahal, dengan mendukung goyang Patola mereka sengaja
mendukung dampak free sex.
Papua
tidak memiliki budaya sex bebas. Budaya Free sex itu budaya liberalis barat
yang telah dicangkok dalam moral negara kolonial Indonesia, yang mengijinkan
goyang ngebor hingga patola, walau KUHP Pornoaksi tegas menolaknya. Dari pengamatan dimedia sosial
terutama di media Twitter dapat dijumpai begitu banyak aksi-aksi yang menurut
penulis sangat tidak mengangkat budaya orang Papua, mungkin dari seni
kontemporer ini menjadi baik, namun tidak pada tempatnya. Karena mereka yang
pada umumnya adalah kaum remaja dan muda terjebak oleh pemanfaatan teknologi
yang tidak positif.
Perhatian orang tua sangat
dibutuhkan terutama dalam hal memberikan pengetahuan dan informasi yang baik,
sehingga potensi yang negatif ini tidak dapat dikembangkan. Disamping itu dalam
hal mengontrol media sosial anak, orang tua perlu mengawasi dan menasehati jika
ada hal-hal yang dapat mecerminkan hal-hal yang buruk. Selain itu perlu
perhatian dari sekolah dengan memberikan pendidikan moral yang sering
disampaikan kepada para murid agar memberikan pemahaman luas. Karena sekali
lagi hal ini akan memberikan dampak kepada hal-hal yang negatif. #AW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar